Kamis, 27 September 2012

Laki-Laki Perawan


Pria tua berjubah putih itu sudah lama mendekam dalam sangkar putih berjendela mozaik-mozaik ala zaman Barok pada sebuah kapela berarsitektur Belanda. Kisi-kisi kecil dikepung oleh caya matahari memerah di ufuk barat memenjara keredupan dalam ruang Confessa. Satu per satu laki-laki dan perempuan datang untuk melakukan confession kepadanya. Ia dicari bukan karena kecerdasannya memberi nasehat namun karena kesederhanaan dan kerendahannya dalam mendengarkan setiap yang datang.
 Jam kapela menunjuk pukul 5.00 sore.
“Pater, selamat sore,” sapaku. Terlihat pria itu agak ringkih. Umurnya sudah 73 tahun tapi ia masih melayani sebagai pastor chaplain. Ia tertatih-tatih namun pasti keluar dari pintu ruang Confessa.
“Iya...oii.. Roger selamat sore. Saya dengar tentang ekepedisimu ke Pulau Ujung. Apa yang kamu bawa dari sana?”
“Aku membawa ini Pater...” Sambil tersenyum aku menyerahkan sebuah buku berkover merah kepadanya.
“Apa ini antologi cerpenmu?”
“Bukan Pater, ini novel perdanaku. Peluncurannya minggu depan di Aula Missio. Aku harap Pater datang ya...sebagai pembicara. Aku ke sini mau menyampaikan undangan lisan. Masa mantan guru sastra SMA tak melihat anaknya menghasilkan karya...”
“Hehehe...Roger...Roger...saya pastikan untuk datang.” Dia terkekeh. Dia juga tersenyum sumringah. Dari wajah pria tua itu terlihat ada kebanggaan lantaran ada mantan anak didik yang menekuni dunia sastra meski penghasilan sebagai penulis tak menjanjikan. Tapi pastor itu salah. Aku tak datang hanya untuk mempromosikan novel tapi aku juga datang membawa cerita tak duka juga.
“Pater, aku ingin bercerita tentang Mario...”
“Ada apa dengan Rio...wajahmu kok berubah serius begini???” Pastor tua itu mengernyitkan dahi. Ia memandangiku dan membaca setiap garis dan pori-pori wajahku. Kemudian ia mengajak aku untuk minum teh di ruang snack pastores. Ia langsung menduga ada sesuatu.
ƔƔƔƔƔ
Mario Anak Nera. Laki-laki berwajah putih, bermata bening. Anak dari seorang laki-laki sukses dari kota ini. Ayahnya memiliki banyak lahan sawah di Satar  Mese, kebun jeruk berhektar-hektar di Langke Majok dan tanah kopi yang subur di Lengko Elar. Jangan heran bila mereka memiliki lusinan truk pengangkut manusia yang oleh orang Manggarai di sebut Otto Kol. Angkutan yang melayani jalur kota Ruteng menuju kampung-kampung jauh, pun pula sebaliknya.
Ia besar di kota Ruteng. Kota yang mungil namun layak huni karena asupan oksigen segar melimpah hutan dari gunung-gunung di sebelah selatan. Golo Lusang dan aroma dingin dari Wae Ces begitu merangsek masuk ke dalam celah-celah kota menjadikan tempat ini nyaman sebagai locus studiorum. Rio kecil belajar di SD St. Nicolas. Anak itu sangat pandai dalam bidang Matematika dan Bahasa sehingga jangan heran ketika ada seleksi masuk seminari menengah dialah yang mendapat nilai paling tinggi. Waktu pengumuman nilai tertinggi lulusan ia menempai nomor wahid di kota ini. Nilai matematikanya paling tinggi.
            Ayahnya sangat ingin ia masuk ke seminari. Pokoknya ia dilempar saja ke sana yang terjadi kemudian terserah Mori Kraeng Ema mau buat apa. Sewaktu mendengar Rio lulus begitu girang hatinya seperti saat Elisabeth dikunjungi Maria. Jangan heran ia memberi fasilitas apapun yang diminta Rio ketika ia sudah mulai belajar di Lembah Hijau, tempat seminari menengah itu berdiri. Buku-buku, makanan, pakaian yang bagus, uang, alat musik dan macam-macam diberikan kepadanya. Ayahnya begitu berhasrat bahwa anaknya bisa memakai jubah putih keimamam.
            Dari kecil Rio sangat mengagumi seorang pastor yang sering ke rumahnya, namanya Pater Mario Salvino, orang Italia. Pastor itu selalu berjalan kaki dari biaranya mengunjungi pemukiman-pemukiman untuk menjual hasil kebun di biaranya. Ada tomat, wortel, lombok. Pertama orang mengira dia penjual lombok enceran, namun belakangan mereka tahu bahwa adalah seorang biarawan. Ayah Rio begitu kagum dengan pastor itu sampai-sampai ketika anak bungsu laki-lakinya lahir ia menamakannya Mario Anak Nera, artinya Mario anak terang. Rupa-rupanya dalam alam bawah sadar Rio kecil tertanam hasrat untuk menjadi seperti Pater Mario.
            Rio sangat ingin menjadi seperti Pater Mario, ia ingin menjadi imam yang baik, kudus dan dicintai banyak orang. Di seminari ia begitu rajin belajar sehingga jangan kaget bila nilai-nilainya mendekati sempurna semua. Kehidupan rohaninya subur seperti tanah di Lembah Hijau yang hitam nan subur. Ia sangat dihargai teman-teman karena kesopanan dan kedisiplinan yang dimiliki. Karena begitu menjadi panutan ia beberapa kali menjabat sebagai ketua kelas. Makin lama ia bertumbuh menjadi laki-laki; jakunnya sudah mulai nampak, kumis tipis klimis tumbuh pelan-pelan, suaranya rendah, dan semakin cerah wajahnya.
Suatu malam ia begitu merasa bersalah. Ia menemukan bagian segitiga celananya basah semua. Entah siapa yang nakal menuang air di selangkangan. Ia seperti kehujanan. Ia membangunkan seorang teman. Ia marah-marah tak karuan. Ada apa Mario??? Siapa yang menuang air di celanaku??? Hehehehe. Dia tidak tahu bahwa ia mimpi basah untuk pertama kali. Laki-laki yang masih SMP itu menyadari bahwa ia mengalami masa pubertas, jerawatnya mulai menyerang di mana-mana namun tetaplah ia tampan. Ia bertanya kepada Pater pembina, apakah berdosa seorang laki-laki mimpi bermain kelamin dengan seorang perempuan, kemudian di pagi hari celananya basah kuyup. Tentu tidak. Jawab si pembina. Tapi kalau Rio sengaja melakukan onani itu baru salah karena menggunakan alat kelaki-lakiannya sebagai pemuas belaka.
Rio lega, ia semakin yakin dengan dirinya. Langkah demi langkah dilalui. Ia yakin bahwa ia harus menjadi pastor. Namun ia juga laki-laki normal ia perlu berelasi dengan perempuan. Banyak teman-teman yang memiliki teman koresponden di Ruteng atau pulau lain. Itu sekedar untuk mengisi waktu dan menuang imajinasi. Namun Rio sebaliknya, ia malah tenggelam dalam pelajaran Matematika, Bahasa Latin, Sastra dan Bahasa Inggris. Ia begitu maju dan berkembang. Di lapangan bola ia semakin cantik saja memainkan si kulit bundar. Seperti tak terasa ia sudah akan harus memilih karena sudah berada di kelas 6 seminari. Apakah terus ke seminari tinggi praja ataukah menjadi biarawan seperti pater Mario. Ia harus memilih.
Malam itu dia memilih. Ada sebuah ruang kosong menganga di bawah Katakombe. Ada pertanyaan! Akankah ia hidup tanpa menyentuh  perempuan selama hidupnya? Tidak. Ia pernah menyentuh perempuan. Bahkan pernah bersatutubuh dengan perempuan. Ia tinggal kurang lebih 9 bulan dalam rahim yang hangat, menete dari sepasang buah dada yang ranum dan indah, diapit oleh paha-paha yang lembut, dicium oleh belahan bibir yang basah, bahkan waktu kecil ia dimandikan perempuan. Tubuh dilumuri sabun oleh perempuan. Tak ada yang melihat, mereka telanjang di kamar mandi. Ia melihat perempuan itu dalam kepolosan begitupun sebaliknya. Perempuan itu adalah ibunya sendiri.
Ada bagian jiwa yang terlempar saat ia lahir. Entah kemana. Ruang itu adalah hasrat kepada sesuatu yang lain di luar dirinya. Apakah itu perempuan? Haruskah terus menjadi laki-laki perawan? Banyak kisah indah tentang laki-laki yang bermain kelamin dengan perempuan seperti pada novel-novel harga tigaribuan yang dipinjamkan teman. Atau pada kartu-kartu bergambar esek-esek yang tersebar secara rahasia di antara anak-anak seminari. Apakah permainan kelamin itu tidak membuatnya tertarik?
Dan jawaban Rio bulat. Ia mau menjadi laki-laki perawan untuk sekujur hayat. Dari segi fisik ia bukan laki-laki rendah gairah atau tanpa gairah; ia sehat, segar bugar, tingginya 178 cm, tampan, pintar, jago bermain piano dan bola, sopan dan tenang, disukai banyak teman. Sebetulnya ia punya potensi kalau keluar dari seminari. Tidak.  Ia harus jadi biarawan, katanya. Tapi ia juga sadar ia tak harus menjadi seperti Pater Mario seperti cita-cita dulu. Menjadi diri sendiri sudah cukup dalam mengikuti Orang Gila dari Nazareth sampai titik terakhir.
Entah mengapa pada malam selepas berdoa di Katakombe ia memutuskan untuk menjadi rahib. Dan langkahnya pasti, setelah menerima ijasah seminari ia akan menuju Pulau Ujung untuk menjadi rahib di sana.
ƔƔƔƔƔ
5 Januari. Kami bertiga sudah siap melakukan ekspedisi jurnalistik untuk meneliti pulau-pulau unik di sekitar Pulau Besar. Tujuan kami adalah untuk melihat dari dekat kehidupan nelayan di pesisir dan bagaimana mereka menghidupkan roda perekonomian mereka. Entah mengapa aku teringat pada Pulau Ujung. Bukan pulau itu yang membuat aku tertarik menekan gas mobil highlux,  tapi aku ingin melihat seorang kawan lama, teman sesama ajuda dulu, Rio. Dia sudah 13 tahun hidup sebagi rahib di pulau itu. Apa yang terjadi dengan laki-laki itu? Apa ia sudah mengikrarkan kaul agung dan menjadi imam di biara itu? Aku tidak tahu.
Mobil kami meluncur ke Kampung Nelayan. Di sana kami di sambut hujan lebat yang tak berhenti siang dan malam. Itu artinya kami harus menunggu seminggu untuk mencapai Pulau Ujung. Para nelayan di situ bilang bahwa berbahaya berlayar ke sana pada bulan-bulan seperti ini. Gelombang laut sangat tinggi. Semingu sebelumnya ada rombongan wartawan yang celaka. Untung saja mereka tidak mati tenggelam.
            Seminggu berlalu. Kami seperti tak takut cerita nelayan itu. Kami nekat menyeberang. Akhirnya kami sampai di sana. Biara rahib  Pulau Ujung. Kami disambut ramah oleh seorang rahib muda penjaga pintu yang mengenakan jubah hitam menyerupai rompi dengan dalaman jubah putih sampai di mata kaki. Di dada meraka terukir salip merah berpinggir warna perak. Di atas gerbang tertulis, “Mari dan lihatlah...”
            Memang kami juga kemudian dibawa para rahib untuk berkeliling melihat lingkungan biara yang asri itu. Di sana ada taman bunga yang begitu rapih, kolam ikan, lorong-lorong kamar yang sepi, kandang kelinci, kandang sapi, ayam, kambing. Biara itu bak tempat eksperimen bidang peternakan saja. Di bagian utara ada kapela yang begitu sederhana tempat mereka berdoa brevir, melakukan adorasi dan mengadakan Ekaristi. Kami di ajak sebentar untuk berbincang dengan mereka di ruang tamu sembari disugguhi jus Alpukat dan kue pisang. Indah sekali.
Aku tergerak untuk berjalan keliling sendiri. Aku mau memotret sudut-sudut biara itu. Saat itu aku sungguh tertarik untuk memotret. Tak satu sudutpun terlewati.
ƔƔƔƔƔ
Aku terperangah melihat suatu tempat. Aroma lilin dan bunga begitu kuat. Wewangian itu mencoba mencengkram hidungku. Kemudian muncul wewangian dupa dan bunga yang sangat harum lagi. Mataku terpaku pada sebuah foto pada koridor tengah. Dia seperti wajah kukenal. Wajah yang sering aku ajak bermain kelereng. Dia begitu segar. Pandang matanya mendalam. Aku terpaku. Diam. Mulutku seperti disumbat. Dadaku seperti terbelah. “Mario Anak Nera...1987-2010.”
“Rio...ya benar ini Rio....” tiba-tiba seorang menepuk bahuku dari belakang. Aku kaget bukan main. Langsung saja aku terhunyung jatuh dengan tubuh terkulai. Jiwaku seperti terbelah. Aroma bunga dan dupa begitu menguasai. Terus dan terus mencengkram.
ƔƔƔƔƔ
          
            “Pak Roger bangun...Anda tertidur lama sekali di sini.  Pasti Anda sangat lelah karena perjalanan dari Kampung  Nelayan,” seorang pria berjubah memandangku seraya berniat membangunkan aku, tapi aku buru-buru bangun. Senyumnya padat dan beku.
“Rii..Rio...aku tadi melihat foto Rio.”
“Ya tadi itu memang Rio. Setiap orang yang lewat di sana akan mencium aroma bunga dan dupa. Anda pasti dulu sangat mengenalnya makanya dia menyapa anda.”
            “Apa  Tuan... Abbas di sini?”
            “Ya...Saya pemimpin para rahib di sini. Dua minggu lalu ada wartawan ke sini untuk menyelidik kematian Rio. Tapi mereka sudah pulang. Saya kira Anda teman mereka. ”
            “Bukan, Pater. Apa...Rio telah meninggal?”
Wajah rahib itu berubah menjadi serius berundung duka. Seperti ada misteri yang tergurat dalam pori-pori wajah sawo matang itu.
“Rio Rahib yang sangat maju dalam kerohanian. Ia teladan rahib-rahib muda. Ia sudah berkaul agung dan menjadi penata taman yang hebat di biara ini. Dia suka melakukan askese yang keras seperti mencambuki diri dan berpuasa. Pemimpin memperingatinya sering kali karena askesenya yang terlalu berlebihan itu sudah lama ditinggalkan Tradisi. Tapi ia bersikukuh melakukan itu. Suatu pagi ia seperti biasa bermeditasi di pantai dengan Injil kecil yang selalu ditentengnya. Tapi pagi itu ia tidak pulang sampai sore. Kami pikir dia sedang melakukan Hari Padang Gurun. Tapi dua, tiga , sampai empat hari ia tidak pulang. Lalu seisi pun biara mencarinya. ”
“Apa yang terjadi?”
“Anakku, ini sebuah cerita yang tak harus dibuat heboh. Ini murni kecelakaan. Ia mati mengapung di pantai.” Biarawan separuh baya itu tiba-tiba menitikkan air mata seperti hujan di musim dingin. Makin lama-makin banyak. “Dia mati dengan mengenaskan, kelaminnya terpotong...tolong jaga cerita ini anakku. ”
“Apaa...” Seluruh ruang diam. Hanya pikiranku yang ribut tak karuan. Kisah macam apa ini? Apa aku harus mempercayai cerita rahib yang begitu singkat ini? Cerita ini layak layak jadi berita surat kabarku. Tapi...tidak.  Dia itu sahabat lama. Ini suara duka. Bukan berita.
ƔƔƔƔƔ

            Kematian Rio adalah misteri untuk ditelusuri. Tapi sulit bagiku aku ke sini bukan sedang melakukan investigasi tentang dia. Sedianya aku menjenguk Rio yang hidup tapi ternyata yang ditunjuk hanya pusara. Tinggal lama-lama di biara itu membuat aku merasakan hawa dupa dan wewangian yang main keras mencengkram hidung. Horor. Teror. Dupa. Wangi bunga. Aku harus pulang.
Entah kapan aku datang lagi untuk melakukan penyidikan. “Aku akan kembali lagi nanti,” tulisku pada catatan perjalanan. [...]
La  Ciana

Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar