Sabtu, 29 September 2012

Menggugat Tradisi Belis Mangggarai


Dalam versi cerita rakyat, kata Manggarai terbentuk dari bahasa Bima (NTB), yakni persenyawaan kata Manggar: Jangkar, dan Rai: lari (ini dari segi fonetis pembentukan kata). Namun ada versi lain yang menjelaskan, bahwa nama itu diberikan orang Goa dan Tallo dari Sulawesi Selatan ketika melakukan ekspansi kekuasaan ke Nuca Lale(Flores). Meski asal-usul kata itu masih simpang siur, namun sebenarnya kata “Manggarai” menunjuk pada sebuah kelompok etnik yang memiliki kesadaran dan identitas sendiri, dengan sebuah bahasa bernama Bahasa Manggarai. (Bustan: 2006, 20-21)
      Dari mana asal-usul orang Manggarai? Ada ragam versi berdasarkan cerita rakyat dan bukan sebuah dokumen tertulis. Misalnya, orang Kuleng pertama-tama mendiami daerah Mandosawu, kemudian menyebar ke wilayah Mano, Sita, Riwu dan Cibal. Ada juga yang menyatakan bahwa penduduk asli Manggarai bernama orang Ru’a, yakni penduduk asli keturunan Pongkor yang leluhurnya bernama Rutu dan anaknya bernama Okong. Di samping itu, disinyalir ada juga suku pendatang dari Minangkabau (Bonengkabo), Sumba, Ende. (Lawang: 1999, Jehaun: 2002).
Dalam makalah ini kami akan membicarakan salah satu aspek dari kebudayaan Manggarai yakni sistem perkawinan:
   Perkawinan Adat Manggarai
  Dasar, tujuan dan bentuk-bentuk perkawinan adat Manggarai
      Dasar perkawinan adat Manggarai adalah cinta laki-laki dan perempuan yang ingin dilembagakan dalam sebuah institusi yang bernama keluarga. Dalam beberapa ungkapan digambarkan bagaimana seorang laki-laki memperjuangkan cintanya untuk memperoleh si jantung hati; wa’a wae toe lelo, usang mela toe kira (demi cinta, banjirpun tak dihiraukan, hujan pembawa penyakitpun diacuhkan); bahkan demi cinta, sotor wae botol agu ata mbeko (meminta bantuan dukun untuk menggaet gadis impian).
      Tujuan perkawinan adat Manggarai terungkap lewat beberap ungkapan; pertamakudut beka weki one-beka salang pe’ang, artinya untuk mendapat keturunan. Anak dilihat sebagai pelanjut subsistensi keluarga yang terungkap lewat pernyataan, eme wakak betong  asa-manga waken nipu tae, eme muntung pu’u gurung-manga wungkutn te ludung ( Bambu tua mesti mati, mesti diganti dengan bambu tunas-tunas muda). Dalam upacara Nempung atau Wagal (peresmian pernikahan secara adat), terungkap doa begini: “ ra’ok lobo sapo-renek lobo kecep, borek cala bocel-ta’i cala wa’i” (duduk berhimpun di atas tungku api, uduk berderet-deret bagai tutupan periuk, membuang air besar mengenai betis-buang air besar  mengenai kaki). Artinya, doa meminta keturunan. Kedua, perkawinan adat juga bertujuan untuk menambah keeratan jalinan kekerabatan antar keluarga besar. Ketiga, perkawinan bertujuan untuk kebahagiaan pasangan yang menikah itu. Itu tersembul dari pernyataan, kudut ita le mose di’as ise wina-rona  (agar suami istri hidup sejahtera). Sifat perkawinan adat Manggarai terungkap oleh ungkapan, acer nao-wase wunut (tak terpisahkan) dan wina rona paka cawi neho wuas-dole neho ajos (perkawinan itu menyatukan secara abadi).
      Dalam keadatan Manggarai terdapat tiga jenis perkawinan yakni perkawinan Cangkang  atau perkawinan antar  klen atau suku, perkawinan Tungku  dan Cako atau perkawinan dalam klen/ intra-klen. Perkawinan cako terbagi atas dua; cako sama ase kae atau cako sama wa’u, ada pula yang disebut cako cama salang (perkawinan yang terjadi dalam lingkup kesukuan tertentu, atau dalam satu garis keturunan). Perkawinan cangkang amat bersesuaian dengan tradisi Gereja yakni suatu perkawinan yang bertujuan untuk membentuk kekerabatan baru (woe nelu agu ine ame weru), sehingga terjadi keterjalinan kekerabatan karena perkawinan dengan suku-suku lain. Sedangkan perkawinan Tungku bertujuan untuk menjaga hubungan kekeluargaan yang telah terjalin dalam satu garis biologis agar tidak terputus. Ada beberapa macam tungku, pertama,  tungku cu/ tungku dungka atau perkawinan antara laki-laki dari saudari dengan anak gadis saudara (cross cousin). Keduatungku sa’i/tungku ulu atau (perkawinan antara anak laki-laki saudari dengan anak saudar laki-laki dalam satu garis keturunan). Ketiga, istilah lain; tungku anak de due, tungku salang manga, tungku neteng nara, atau juga tungku dondot. Untuk mengetahui suatu perkawinan disebut tungku atau tidak maka diperlukan suatu penceritaan kembali suatu genealogi keluarga yang disebut turuk empo. Perkawinan tungku cu sangat dilarang oleh Keuskupan Ruteng dan Gereja Katolik pada umumnya.
Tahap-tahap dalam perkawinan adat Manggarai secara umum
Pertama, Cumang Cama Koe artinya laki-laki dan perempuan bertemu di mana sang pemuda membawa tanda cinta misalnya cincin, maka ada suatu kejadian yang disebut tukar kila (tukar cincin). Pihak laki-laki (calon anak wina) menemui pihak perempuan (calon anak rona) untuk membuat pra-kesepakatan mengenai pernikahan, belis, mas kawin (paca). Bila terjadi kesepakatan, maka hubungan itu dibawa pada jenjang selanjutnya.
KeduaWeda Rewa Tuke Mbaru. Proses ini mencakup; pengikatan, masuk minta, masuk rumah permpuan membawa sirih-pinang yang dalam bahas adat disebut “pongo” atau “ ba’cepa”. Tahap ini lazim disebut “Tuke Mbaru”.  Tahap ini menjadi momen peresmian pertunangan. Dalam acara pongokedua pihak mendelegasikan pembicaraan adat pada sesorang yang disebut “Tongka/Pateng” (jubir). Juru bicara pihak wanita disebut “tongka tiba” sedangkan juru bicara pihak laki-laki disebut “ tongka tei.” Dalam proses inilah belis and paca dibicarakan. Jika terjadi kesepakatan, maka apa yang diminta pihak wanita akan dipenuhi dalam proses selanjutnya.
KetigaUber/ Pedeng Pante. Tahap ini ditandai dengan pemberian belis sebagian kecil sesuai dengan kemampuan anak wina. Umber ini juga disebut cehi ri’i-wuka wancang-radi ngaung(peresmian perkawinan adat karena sebagian belis sudah dibayar). Filosofi dibalik belis adalah “bom salang tuak-maik salang wae teku tedeng.” Artinya: keluarga yang baru dibentuk itu bagaikan mata air yang tidak akan berhenti seperti mengalirnya air dan bukan seperti jalan pohon enau yang “air”nya berhenti. Maksudnya; dalam perjalanan hidup mereka kelak akan membayar segala tunggakan belisnya dengan cara-cara adat yang berlaku hingga akhir hayat.
Keempatupacara podo. Upacara ini merupakan upacara menghantar (podo) pengantin ke rumah pengantin pria. Dengan ini, ia sudah menjadi anggota suku (wa’u) laki-laki dan harus megikuti tata hidup keluarga si pria (ceki). Dalam tahap ini juga pihak perempuan member “wida” kepada keluarga baru. “Wida” merujuk pada “widang” yakni pemberian perlengkapan rumah tangga dari pihak keluarga wanita misalnya kain adat, perlengkapan tidur, barang-barang dapur. Sesi pamungkas dari “podo” adalah upacara “pentang pitak”, yakni upacara pembebasan si istri dari segala keterikatannya dengan keluarga asal. Ritual yang dijalankan yakni: menginjak telur di depan rumah adat (Gendang/tembong). Ini menjadi tanda inisiasi si wanita ke dalam tatanan hidup si laki-laki.
 Budaya Belis dan paca
Belis/ paca itu merupakan seperangkat mas kawin yang diberikan oleh anak rona ( keluarga mempelai laki-laki) kepada anak wina (keluarga mempelai perempuan) yang biasanya berdasarkan atas kesepakatan pada saat pongo (ikat).  Yang dimaksud  seperangkat mas kawin di sini adalah seng agu paca (seng = uang; paca = hewan berupa kerbau dan kuda). Dalam bahasa adat perkawinan Manggarai, uang biasa disebut dengan menggunakan term kiasan seperti kala (daun sirih), one cikang(dalam saku), one mbaru (dalam rumah); sedangkan untuk hewan disebut dengan menggunakan term kiasan seperti peang tana (di luar rumah). Semua pembicaraan yang berkaitan dengan jumlah belis yang harus diberikan oleh pihak laki-laki terhadap pihak keluarga perempuan dibicarakan pada saatpongo. Ketika itu  terjadi proses tawar menawar antara tongka (juru bicara) dari pihak anak rona dan anak wina tentang jumlah belis. Mempelai perempuan memberikan patokan belis yang harus ditanggapi oleh keluarga mempelai laki-laki berupa tawar-menawar sebelum adanya keputusan final. Kadang tidak ditemukanya kesepakatan dan apabila kesepakatan tidak ditemukan, maka acara itu ditunda lagi.
Setelah semuanya mencapai kesepakatan, ada waktu yang telah ditentukan untuk menyerahkan mas kawin itu pada saat acara adat yang disebut coga seng agu paca .  Di mana semua hal menyangkut mas kawin yang telah dibicarakan dan diputuskan bersama (pada tahap perkawinan sebelumnya yaitu pada saat pongo) akan diserahkan oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan. Adat coga seng agu paca merupakan inti/ puncak sebagai bukti tanggung jawab keluarga laki-laki dalam melunasi belis kepada keluarga perempuan. Momen inilah yang menjadi tolok ukur sampai sejauh manakah kesiapan, kemampuan  kelurga mempelai laki-laki dalam urusan perkawinan itu.
Mengapa belis atau “Paca” harus “dibayarkan” dalam pernikahan adat Manggarai? Pertama-tama belis atau “paca” bukan hanya suatu penetapan melainkan suatu pengukuhan kehidupan suami istri. Ada sua unsur pokok: anak rona (penerima mas kawin) dan anak wina (pemberi mas kawin). Telah dikatakan bahwa filosofi dasarnya adalah “salang wae teku tedeng” (jalan mata air) dan bukan “salang tuak” (jalan tuak enau). Itu berarti relasi perkawinan yang akan dibentuk bukan hanya sesuatu yang bersifat temporal saja (untuk sementara waktu),  melainkan relasi perkawinan itu akan  berdampak pada suatu hubungan  “woe nelu” atau kekerabatan yang berkelanjutan sampai pada generasi-generasi berikutnya. Belis menjadi semacam “tunggakan” yang menjadi kewajiban pihak “anak wina” kepada “pihak anak wina.” Filosofi lain yang tersembul dalam ungkapan “le Mbau teno” artinya, belis atau paca akan diberikan kepada pihak yang berhak menerimanya (anak rona) sembari menanti hasi kerja suami istri. Jika terjadi “sida” (permintaan sejumlah uang atau hewan) kepada pihak anak rona, maka itu harus berdasarkan “momang” atau belaskasih si pihak pemberi belis (anak wina). Hal itu terungkap dalam peribahasa, “pase sapu-selek kope, weda rewa-tuke mbaru.” Pemberian pihak “anak rona” kepada “anak wina” berasal dari suatu konsolodasi internal keluarga mereka untuk meenanggung permintaan “anak wina” itu.
Formulasi permintaan belis dalam upacara “Umber” sebelum peresmian adat misalnya; 2 ekor kerbau ditambah dengan 5 ekor kuda serta uang 40 juta. Misalnya disanggupi secara tertentu dalam; 1 ekor kerbau, 2 ekor kuda dan 1 ekor kerbau (kaba ute/ khusus untuk dimakan “lebong”). Biasanya permintaan yang tertugn sebagai “paca atau belis” harus disanggupi pada saat pengesahan perkawinan adat, yakni saat “Nempung” atau “wagal.” Namun sekalai lagi pada saat itu bukan suatu sistem “bayar tuntas” karena merujuk pada filosofi “wae teku tedeng” atau mata air abadi. Bagi pasangan yang dikukuhkan dalam  pengukuhan adat dikenakan peribahasa: “du pa’ang le mai-cako agu reha lesak penong pa’ang.” (suatu pesta meriah yang melibatkan seluruh kampung). Si perempuan disanjung-sanjung dengan ritual “sendeng atau sompo.” Terbersit bahwa dalam upacara ini ada penghargaan terhadap martabat wanita dan keluarganya.
Jawaban atas permintaan belis ada dua: pertama, untuk menyatakan kesanggupan atas tuntutan adat ada tuturan adat sbb: “ho’o ca libo, dumpu ca sora mata, titut nggitu deng hitu, o hae gereng sala = hanya ada satu kolam kecil, kudapati satu udang kecil, terimalah dulu, sambil mencari yang lain kemudian.” Itu berarti belis merupakan suatu kelanjutan yang menandai hubungan kekerabatan “Woe-Nelu.” Belis bukan “beli mati” melainkan suatu budaya yang melanggengkan hubungan itu. “Sida” (tuntutan adat) dari pihak peminta belis secara berkelanjutan akan meminta respon dari pihak penerima belis. Kedua, untuk memohon pengertian baik pihak wanita karena si laki-laki tidak mampu; “eme tenang laku lalo, retang nanggong du kakor lalong. Eme nuk laku kasi asi, one ritak laing, momang koe, cala di’a diang, baeng koe, cala jari tai.” Intinya memohon pengetian baik dari pihak wanita agar tuntutan adat diperlunak mengingat hidup bukan hanya hari ini, mungkin besok keluarga ini akan menjadi baik.
  Refleksi filosofis
Nilai-nilai filosofis perkawinan adat Manggarai dapat digambarkan dalam beberapa  ungkapan berikut:Pertamaperkawinan mengungkapkan kebutuhan dasar manusia untuk berada bersama dengan Yang Lain dalam suatu ranah kehidupan yang sejahtera, subur dan berkembang, seperti ungkapan “saung bembang ngger eta, wake seler ngger wa”. Keduaperkawinan bertujuan agar manusia dapat melanjutkan subsistensi dirinya lewat keturunan. Seperti suatu ungkapan seorang suami, “wua raci tuke, lebo kala ako” (: istriku sudah hamil). Ketigaperkawinan membuka sosialitas manusia agar terhubung dengan Orang Lain dan kelompok lain sehingga terjalinlah suatu kekeluargaan dan persaudaraan manusia seperti ungkapan “cimar neho rimang, cama rimang rana, kimpur kiwung cama lopo (persaudaraan itu ibarat lidi yang tak mudah dipatahkan, kuat seperti batang enau)” Keempatperkawinan merupakan ruang pembentukan keluarga yang nantinya akan menjadi ruang transimisi nilai budaya dan moral, seperti tanggung jawab dan jiwa besar. Itu tersembul dalam ungkapan “Nai nggalis tuka Ngengga (kearifan dan jiwa besar)” Atau ungkapan “Mese bekek, langkas nawa” (pribadi yang bertanggung jawab dan bermoral). Keenam, perkawinan menjadikan kebebasan manusia terlembagan dalam suatu tatana moral dan etika, seperti menghargai perempuan yang sudah bersuami. Seperti ungkapan “lopan pado olo, morin musi mai (sudah ada yang punya).”

  Epilog: Tantangan dan peluang
Apakah tantangan sekaligus peluanh yang dihadapi Gereja Katolik khususnya Dioses Ruteng berkaitan dengan perkawinan adat Manggarai? Pertama, tantangan seperti;
v Kawin Tungku Cu dilarang Gereja karena tidak sesuai dengan ajaran moral iman dan menjadi halangan nikah dalam hukum Gereja.
v Banyak urusan perkawinan sakramental ditunda lantaran adat belum beres padahal pengukuhan sakramental lebih penting.
v Budaya “sida” atau tuntutan adat yang berlebihan dapat menjurus pda pemiskinan oleh pihak peminta belis (anak rona).
Adapun peluang seperti:
v  Pernikahan  adat merupakan suatu ruang pelestarian nilai-nilai penghargaan terhadap kemanusiaan dan sosialitas manusia yang mengandung didalamnya juga nilai-nilai yang diakui Gereja seperti norma bahwa pernikahan itu “suci, utuh dan tak terceraikan.”
v  Keluarga merupakan ruang transmisi nilai moral dan kultur  dan disisi lain juga menjadi “gereja domestik” untuk membentuk anak-anak dalam terang Injil.

  1. 5.      Referensi:
  • Antonius Bagul Dagur, Kebudayaan Manggarai Sebagai Saah Satu Khasanah Kebudayaan Nasional, Surabaya: Ubhara Press, 1997.
  • Fransiskus Bustan, Etnografi Budaya Manggarai : Selayang Pandang, Kupang: Agrilcola, 2006.
  • Adi M. Nggoro, Budaya Manggarai, selayang Pandang, Ende: Nusa Indah, 2006.
  • Petrus Janggur, Butir-Butir Adat Manggarai, Ruteng: Yayasan  Siri Bongkok, 2010.

Kamis, 27 September 2012

Ferry Adu Getol Tolak Tambang


Laki-Laki Perawan


Pria tua berjubah putih itu sudah lama mendekam dalam sangkar putih berjendela mozaik-mozaik ala zaman Barok pada sebuah kapela berarsitektur Belanda. Kisi-kisi kecil dikepung oleh caya matahari memerah di ufuk barat memenjara keredupan dalam ruang Confessa. Satu per satu laki-laki dan perempuan datang untuk melakukan confession kepadanya. Ia dicari bukan karena kecerdasannya memberi nasehat namun karena kesederhanaan dan kerendahannya dalam mendengarkan setiap yang datang.
 Jam kapela menunjuk pukul 5.00 sore.
“Pater, selamat sore,” sapaku. Terlihat pria itu agak ringkih. Umurnya sudah 73 tahun tapi ia masih melayani sebagai pastor chaplain. Ia tertatih-tatih namun pasti keluar dari pintu ruang Confessa.
“Iya...oii.. Roger selamat sore. Saya dengar tentang ekepedisimu ke Pulau Ujung. Apa yang kamu bawa dari sana?”
“Aku membawa ini Pater...” Sambil tersenyum aku menyerahkan sebuah buku berkover merah kepadanya.
“Apa ini antologi cerpenmu?”
“Bukan Pater, ini novel perdanaku. Peluncurannya minggu depan di Aula Missio. Aku harap Pater datang ya...sebagai pembicara. Aku ke sini mau menyampaikan undangan lisan. Masa mantan guru sastra SMA tak melihat anaknya menghasilkan karya...”
“Hehehe...Roger...Roger...saya pastikan untuk datang.” Dia terkekeh. Dia juga tersenyum sumringah. Dari wajah pria tua itu terlihat ada kebanggaan lantaran ada mantan anak didik yang menekuni dunia sastra meski penghasilan sebagai penulis tak menjanjikan. Tapi pastor itu salah. Aku tak datang hanya untuk mempromosikan novel tapi aku juga datang membawa cerita tak duka juga.
“Pater, aku ingin bercerita tentang Mario...”
“Ada apa dengan Rio...wajahmu kok berubah serius begini???” Pastor tua itu mengernyitkan dahi. Ia memandangiku dan membaca setiap garis dan pori-pori wajahku. Kemudian ia mengajak aku untuk minum teh di ruang snack pastores. Ia langsung menduga ada sesuatu.
ƔƔƔƔƔ
Mario Anak Nera. Laki-laki berwajah putih, bermata bening. Anak dari seorang laki-laki sukses dari kota ini. Ayahnya memiliki banyak lahan sawah di Satar  Mese, kebun jeruk berhektar-hektar di Langke Majok dan tanah kopi yang subur di Lengko Elar. Jangan heran bila mereka memiliki lusinan truk pengangkut manusia yang oleh orang Manggarai di sebut Otto Kol. Angkutan yang melayani jalur kota Ruteng menuju kampung-kampung jauh, pun pula sebaliknya.
Ia besar di kota Ruteng. Kota yang mungil namun layak huni karena asupan oksigen segar melimpah hutan dari gunung-gunung di sebelah selatan. Golo Lusang dan aroma dingin dari Wae Ces begitu merangsek masuk ke dalam celah-celah kota menjadikan tempat ini nyaman sebagai locus studiorum. Rio kecil belajar di SD St. Nicolas. Anak itu sangat pandai dalam bidang Matematika dan Bahasa sehingga jangan heran ketika ada seleksi masuk seminari menengah dialah yang mendapat nilai paling tinggi. Waktu pengumuman nilai tertinggi lulusan ia menempai nomor wahid di kota ini. Nilai matematikanya paling tinggi.
            Ayahnya sangat ingin ia masuk ke seminari. Pokoknya ia dilempar saja ke sana yang terjadi kemudian terserah Mori Kraeng Ema mau buat apa. Sewaktu mendengar Rio lulus begitu girang hatinya seperti saat Elisabeth dikunjungi Maria. Jangan heran ia memberi fasilitas apapun yang diminta Rio ketika ia sudah mulai belajar di Lembah Hijau, tempat seminari menengah itu berdiri. Buku-buku, makanan, pakaian yang bagus, uang, alat musik dan macam-macam diberikan kepadanya. Ayahnya begitu berhasrat bahwa anaknya bisa memakai jubah putih keimamam.
            Dari kecil Rio sangat mengagumi seorang pastor yang sering ke rumahnya, namanya Pater Mario Salvino, orang Italia. Pastor itu selalu berjalan kaki dari biaranya mengunjungi pemukiman-pemukiman untuk menjual hasil kebun di biaranya. Ada tomat, wortel, lombok. Pertama orang mengira dia penjual lombok enceran, namun belakangan mereka tahu bahwa adalah seorang biarawan. Ayah Rio begitu kagum dengan pastor itu sampai-sampai ketika anak bungsu laki-lakinya lahir ia menamakannya Mario Anak Nera, artinya Mario anak terang. Rupa-rupanya dalam alam bawah sadar Rio kecil tertanam hasrat untuk menjadi seperti Pater Mario.
            Rio sangat ingin menjadi seperti Pater Mario, ia ingin menjadi imam yang baik, kudus dan dicintai banyak orang. Di seminari ia begitu rajin belajar sehingga jangan kaget bila nilai-nilainya mendekati sempurna semua. Kehidupan rohaninya subur seperti tanah di Lembah Hijau yang hitam nan subur. Ia sangat dihargai teman-teman karena kesopanan dan kedisiplinan yang dimiliki. Karena begitu menjadi panutan ia beberapa kali menjabat sebagai ketua kelas. Makin lama ia bertumbuh menjadi laki-laki; jakunnya sudah mulai nampak, kumis tipis klimis tumbuh pelan-pelan, suaranya rendah, dan semakin cerah wajahnya.
Suatu malam ia begitu merasa bersalah. Ia menemukan bagian segitiga celananya basah semua. Entah siapa yang nakal menuang air di selangkangan. Ia seperti kehujanan. Ia membangunkan seorang teman. Ia marah-marah tak karuan. Ada apa Mario??? Siapa yang menuang air di celanaku??? Hehehehe. Dia tidak tahu bahwa ia mimpi basah untuk pertama kali. Laki-laki yang masih SMP itu menyadari bahwa ia mengalami masa pubertas, jerawatnya mulai menyerang di mana-mana namun tetaplah ia tampan. Ia bertanya kepada Pater pembina, apakah berdosa seorang laki-laki mimpi bermain kelamin dengan seorang perempuan, kemudian di pagi hari celananya basah kuyup. Tentu tidak. Jawab si pembina. Tapi kalau Rio sengaja melakukan onani itu baru salah karena menggunakan alat kelaki-lakiannya sebagai pemuas belaka.
Rio lega, ia semakin yakin dengan dirinya. Langkah demi langkah dilalui. Ia yakin bahwa ia harus menjadi pastor. Namun ia juga laki-laki normal ia perlu berelasi dengan perempuan. Banyak teman-teman yang memiliki teman koresponden di Ruteng atau pulau lain. Itu sekedar untuk mengisi waktu dan menuang imajinasi. Namun Rio sebaliknya, ia malah tenggelam dalam pelajaran Matematika, Bahasa Latin, Sastra dan Bahasa Inggris. Ia begitu maju dan berkembang. Di lapangan bola ia semakin cantik saja memainkan si kulit bundar. Seperti tak terasa ia sudah akan harus memilih karena sudah berada di kelas 6 seminari. Apakah terus ke seminari tinggi praja ataukah menjadi biarawan seperti pater Mario. Ia harus memilih.
Malam itu dia memilih. Ada sebuah ruang kosong menganga di bawah Katakombe. Ada pertanyaan! Akankah ia hidup tanpa menyentuh  perempuan selama hidupnya? Tidak. Ia pernah menyentuh perempuan. Bahkan pernah bersatutubuh dengan perempuan. Ia tinggal kurang lebih 9 bulan dalam rahim yang hangat, menete dari sepasang buah dada yang ranum dan indah, diapit oleh paha-paha yang lembut, dicium oleh belahan bibir yang basah, bahkan waktu kecil ia dimandikan perempuan. Tubuh dilumuri sabun oleh perempuan. Tak ada yang melihat, mereka telanjang di kamar mandi. Ia melihat perempuan itu dalam kepolosan begitupun sebaliknya. Perempuan itu adalah ibunya sendiri.
Ada bagian jiwa yang terlempar saat ia lahir. Entah kemana. Ruang itu adalah hasrat kepada sesuatu yang lain di luar dirinya. Apakah itu perempuan? Haruskah terus menjadi laki-laki perawan? Banyak kisah indah tentang laki-laki yang bermain kelamin dengan perempuan seperti pada novel-novel harga tigaribuan yang dipinjamkan teman. Atau pada kartu-kartu bergambar esek-esek yang tersebar secara rahasia di antara anak-anak seminari. Apakah permainan kelamin itu tidak membuatnya tertarik?
Dan jawaban Rio bulat. Ia mau menjadi laki-laki perawan untuk sekujur hayat. Dari segi fisik ia bukan laki-laki rendah gairah atau tanpa gairah; ia sehat, segar bugar, tingginya 178 cm, tampan, pintar, jago bermain piano dan bola, sopan dan tenang, disukai banyak teman. Sebetulnya ia punya potensi kalau keluar dari seminari. Tidak.  Ia harus jadi biarawan, katanya. Tapi ia juga sadar ia tak harus menjadi seperti Pater Mario seperti cita-cita dulu. Menjadi diri sendiri sudah cukup dalam mengikuti Orang Gila dari Nazareth sampai titik terakhir.
Entah mengapa pada malam selepas berdoa di Katakombe ia memutuskan untuk menjadi rahib. Dan langkahnya pasti, setelah menerima ijasah seminari ia akan menuju Pulau Ujung untuk menjadi rahib di sana.
ƔƔƔƔƔ
5 Januari. Kami bertiga sudah siap melakukan ekspedisi jurnalistik untuk meneliti pulau-pulau unik di sekitar Pulau Besar. Tujuan kami adalah untuk melihat dari dekat kehidupan nelayan di pesisir dan bagaimana mereka menghidupkan roda perekonomian mereka. Entah mengapa aku teringat pada Pulau Ujung. Bukan pulau itu yang membuat aku tertarik menekan gas mobil highlux,  tapi aku ingin melihat seorang kawan lama, teman sesama ajuda dulu, Rio. Dia sudah 13 tahun hidup sebagi rahib di pulau itu. Apa yang terjadi dengan laki-laki itu? Apa ia sudah mengikrarkan kaul agung dan menjadi imam di biara itu? Aku tidak tahu.
Mobil kami meluncur ke Kampung Nelayan. Di sana kami di sambut hujan lebat yang tak berhenti siang dan malam. Itu artinya kami harus menunggu seminggu untuk mencapai Pulau Ujung. Para nelayan di situ bilang bahwa berbahaya berlayar ke sana pada bulan-bulan seperti ini. Gelombang laut sangat tinggi. Semingu sebelumnya ada rombongan wartawan yang celaka. Untung saja mereka tidak mati tenggelam.
            Seminggu berlalu. Kami seperti tak takut cerita nelayan itu. Kami nekat menyeberang. Akhirnya kami sampai di sana. Biara rahib  Pulau Ujung. Kami disambut ramah oleh seorang rahib muda penjaga pintu yang mengenakan jubah hitam menyerupai rompi dengan dalaman jubah putih sampai di mata kaki. Di dada meraka terukir salip merah berpinggir warna perak. Di atas gerbang tertulis, “Mari dan lihatlah...”
            Memang kami juga kemudian dibawa para rahib untuk berkeliling melihat lingkungan biara yang asri itu. Di sana ada taman bunga yang begitu rapih, kolam ikan, lorong-lorong kamar yang sepi, kandang kelinci, kandang sapi, ayam, kambing. Biara itu bak tempat eksperimen bidang peternakan saja. Di bagian utara ada kapela yang begitu sederhana tempat mereka berdoa brevir, melakukan adorasi dan mengadakan Ekaristi. Kami di ajak sebentar untuk berbincang dengan mereka di ruang tamu sembari disugguhi jus Alpukat dan kue pisang. Indah sekali.
Aku tergerak untuk berjalan keliling sendiri. Aku mau memotret sudut-sudut biara itu. Saat itu aku sungguh tertarik untuk memotret. Tak satu sudutpun terlewati.
ƔƔƔƔƔ
Aku terperangah melihat suatu tempat. Aroma lilin dan bunga begitu kuat. Wewangian itu mencoba mencengkram hidungku. Kemudian muncul wewangian dupa dan bunga yang sangat harum lagi. Mataku terpaku pada sebuah foto pada koridor tengah. Dia seperti wajah kukenal. Wajah yang sering aku ajak bermain kelereng. Dia begitu segar. Pandang matanya mendalam. Aku terpaku. Diam. Mulutku seperti disumbat. Dadaku seperti terbelah. “Mario Anak Nera...1987-2010.”
“Rio...ya benar ini Rio....” tiba-tiba seorang menepuk bahuku dari belakang. Aku kaget bukan main. Langsung saja aku terhunyung jatuh dengan tubuh terkulai. Jiwaku seperti terbelah. Aroma bunga dan dupa begitu menguasai. Terus dan terus mencengkram.
ƔƔƔƔƔ
          
            “Pak Roger bangun...Anda tertidur lama sekali di sini.  Pasti Anda sangat lelah karena perjalanan dari Kampung  Nelayan,” seorang pria berjubah memandangku seraya berniat membangunkan aku, tapi aku buru-buru bangun. Senyumnya padat dan beku.
“Rii..Rio...aku tadi melihat foto Rio.”
“Ya tadi itu memang Rio. Setiap orang yang lewat di sana akan mencium aroma bunga dan dupa. Anda pasti dulu sangat mengenalnya makanya dia menyapa anda.”
            “Apa  Tuan... Abbas di sini?”
            “Ya...Saya pemimpin para rahib di sini. Dua minggu lalu ada wartawan ke sini untuk menyelidik kematian Rio. Tapi mereka sudah pulang. Saya kira Anda teman mereka. ”
            “Bukan, Pater. Apa...Rio telah meninggal?”
Wajah rahib itu berubah menjadi serius berundung duka. Seperti ada misteri yang tergurat dalam pori-pori wajah sawo matang itu.
“Rio Rahib yang sangat maju dalam kerohanian. Ia teladan rahib-rahib muda. Ia sudah berkaul agung dan menjadi penata taman yang hebat di biara ini. Dia suka melakukan askese yang keras seperti mencambuki diri dan berpuasa. Pemimpin memperingatinya sering kali karena askesenya yang terlalu berlebihan itu sudah lama ditinggalkan Tradisi. Tapi ia bersikukuh melakukan itu. Suatu pagi ia seperti biasa bermeditasi di pantai dengan Injil kecil yang selalu ditentengnya. Tapi pagi itu ia tidak pulang sampai sore. Kami pikir dia sedang melakukan Hari Padang Gurun. Tapi dua, tiga , sampai empat hari ia tidak pulang. Lalu seisi pun biara mencarinya. ”
“Apa yang terjadi?”
“Anakku, ini sebuah cerita yang tak harus dibuat heboh. Ini murni kecelakaan. Ia mati mengapung di pantai.” Biarawan separuh baya itu tiba-tiba menitikkan air mata seperti hujan di musim dingin. Makin lama-makin banyak. “Dia mati dengan mengenaskan, kelaminnya terpotong...tolong jaga cerita ini anakku. ”
“Apaa...” Seluruh ruang diam. Hanya pikiranku yang ribut tak karuan. Kisah macam apa ini? Apa aku harus mempercayai cerita rahib yang begitu singkat ini? Cerita ini layak layak jadi berita surat kabarku. Tapi...tidak.  Dia itu sahabat lama. Ini suara duka. Bukan berita.
ƔƔƔƔƔ

            Kematian Rio adalah misteri untuk ditelusuri. Tapi sulit bagiku aku ke sini bukan sedang melakukan investigasi tentang dia. Sedianya aku menjenguk Rio yang hidup tapi ternyata yang ditunjuk hanya pusara. Tinggal lama-lama di biara itu membuat aku merasakan hawa dupa dan wewangian yang main keras mencengkram hidung. Horor. Teror. Dupa. Wangi bunga. Aku harus pulang.
Entah kapan aku datang lagi untuk melakukan penyidikan. “Aku akan kembali lagi nanti,” tulisku pada catatan perjalanan. [...]
La  Ciana

Januari 2011